Oleh : Dr. Rimawan Pradiptyo
Sejarah Berulang
Untuk
kesekian kali, pasca reformasi, bangsa Indonesia terjebak pada dilemma
penurunan subsidi BBM. Berbagai road map penurunan subsidi BBM telah
dibuat oleh para birokrat sejak tahun 2008, namun berbagai road map
tersebut bukanlah apa yang diinginkan oleh para politisi. Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana pemerintah berencana melakukan pengaturan
konsumsi BBM di tahun 2010 dan mulai dilakukan terbatas di Jakarta pada
2011, dan diharapkan terlaksana di seluruh Indonesia pada akhir 2013.
Meski demikian rencana ini kandas di tahun 2011 setelah diketahui banyak
SPBU mengalami keterbatasan lahan untuk instalasi tambahan tanki
timbun, ditambah penolakan dari DPR terhadap hasil penelitian tiga
Universitas UGM-ITB-IU.
Tim
peneliti UGM-ITB-UI menyatakan bahwa proposal para birokrat untuk
mengatur konsumsi BBM bersubsidi, ataupun keinginan para politisi untuk
membatasi konsumsi BBM bersubsidi, adalah tidak efisien dan tidak
efektif. Biaya pelaksanaan kedua kebijakan tersebut diestimasi lebih
tinggi daripada manfaat penurunan subsidi BBM yang akan diperoleh. Di
sisi lain, kedua rencana tersebut berpotensi menciptakan konflik
horizontal di tiap-tiap SPBU, antara konsumen dengan pihak pengelola
SPBU. Kedua rencana tersebut memiliki implikasi negative yaitu
pengalihan potensi konflik dan demonstrasi dari depan Istana Negara dan
gedung DPR/MPR ke SPBU dari Sabang sampai Merauke.
Tim
peneliti UGM-ITB-UI mengusulkan penurunan subsidi BBM sebesar IDR500
rupiah dan dan terus dilakukan secara bertahap (misalnya 6-12 bulan
sekali) hingga harga Premium mencapai harga keekonomian disertai
kompensasi subsidi ke keluarga miskin. Angka IDR500/liter ditentukan
untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi dan juga politik pada saat yang
bersamaan. Rencana ini ditolak oleh DPR, dan partai politik yang
berkuasa tidak memperjuangkan rencana ini.
Di
awal 2012, mencuat kembali masalah beban keuangan negara yang
diakibatkan oleh subsidi BBM. Kembali tiga universitas diminta melakukan
kajian kali ini adalah Tim Unpad-ITB-UI dan diusulkan harga Premium
naik IDR1500/liter. Usulan ini ditentang banyak kalangan, terutama
mahasiswa, dan timbullah aksi demonstrasi di berbagai kota menentang
rencana tersebut. Kembali partai yang berkuasa ragu-ragu dalam mengambil
kebijakan, dan akhirnya rencana peningkatan harga subsidi BBM tidak
jadi dilakukan. tingginya intensitas diskusi mengenai rencana
peningkatan harga Premium tanpa realisasi yang jelas, justru memicu laju
inflasi yang didasarkan pada expected inflation yang terbentuk di
tingkat pelaku ekonomi, khususnya pedagang. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Pradiptyo dkk (2010) yang menunjukkan bahwa informasi utama
pembentuk asa inflasi (expected inflation) di tingkat pedagang adalah
isu tentang kenaikan harga BBM.
Sejak
bulan Februari 2013, kembali beban subsidi BBM terhadap anggaran
pemerintah kembali menyeruak. Defisit APBN di tahun 2011 dan 2012
berturut-turut adalah 1,3% dan 2,3% dari PDB, lebih rendah daripada pagu
maksimal 3% dari PDB. Tahun ini, namun demikian, jika tidak ada
kebijakan penurunan subsidi BBM, maka dipastikan deficit APBN
diperkirakan mencapai 3,83% dari PDB. Di sisi lain, fakta bahwa
Indonesia adalah negara net importer minyak sejak 2004, peningkatan
konsumsi BBM bersubsidi tentu akan meningkatkan tekanan terhadap neraca
pembayaran karena impor Pertamax tentu akan meningkat.
Meski
masalah subsidi BBM berulang minimal selama tiga tahun terakhir, upaya
penurunan subsidi BBM ternyata tidak mudah dilakukan. Pola penanganan
selama tiga tahun tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, yaitu
selalu bersifat myopic dan kebijakan didasarkan lebih pada anecdotal
evidence (mitos) dibandingkan dengan hard evidence (realitas).
Subsidi BBM = Bom Waktu yang Tumbuh
Kebijakan
subsidi BBM pada dasarnya adalah kebijakan yang memanjakan konsumsi
masyarakat golongan menengah ke atas, dengan dalih melindungi masyarakat
berpenghasilan rendah. Konsumsi BBM bersubsidi adalah fenonema
compensated consumption, artinya berapapun konsumsi BBM bersubsidi,
untuk kegunaan apapun dan oleh siapapun, akan selalu dipenuhi oleh
pemerintah. Berapapun volume BBM bersubsidi yang keluar dari tanki
Pertamina, di akhir tahun pasti akan ditutup pendanaannya oleh
Pemerintah.
Fenomena compensated consumption dapat digambarkan sebagai berikut. Bayangkan jika anda berikan kartu kredit dengan nilai kredit yang tidak terbatas[2].
Lalu berikan kartu kredit tersebut kepada seorang remaja, lalu di pagi
hari, remaja tersebut diantar ke mall yang paling mewah di negeri ini[3].
Kita berpesan kepada si remaja tersebut, bahwa yang bersangkutkan
diperkenankan membeli barang apapun dengan harga berapapun dengan kartu
kredit tersebut, dan nantinya seluruh tagihan kartu kredit akan
ditanggung oleh kita. Di malam hari, ketika mall tersebut akan tutup dan
si remaja dijemput, adakah ada orang di bumi ini yang mampu
mengestimasi dengan tepat nilai pembelian yang dilakukan remaja tersebut
selama sehari itu? Tentu saja jawabannya negative. Ilustrasi ini
menggambarkan kompleksitas yang dihadapi oleh birokrat dalam
mengestimasi konsumsi BBM bersubsidi. Tidaklah mengherankan jika setiap
tahun kuota BBM bersubsidi tidak mudah diperkirakan.
Permasalahannya,
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM
bersubsidi? Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM
bersubsidi adalah: peningkatan aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan
ekonomi , kenaikan harga minyak dunia, penguatan nilai tukar mata uang
asing, pengalihan konsumsi dari Pertamax ke Premium, peningkatan
aktivitas pasar gelap untuk keperluan industri dan penyelundupan BBM
bersubsidi untuk keperluan asing.
Dari
enam faktor di atas, hanya faktor pertumbuhan ekonomi yang merupakan
faktor endogen, namun sisanya merupakan faktor eksogen yang tidak dapat
dipengaruhi oleh pemerintah sama sekali. Artinya, tanpa perubahan
kebijakan terhadap subsidi BBM, maka beban subsidi BBM bukanlah dalam
control pemerintah, namun justru dikontrol oleh faktor-faktor eksternal
yang tidak bisa dipengaruhi oleh pemerintah.
Permasalahan
menjadi semakin kompleks, ketika BBM bersubsidi tersedia di mana saja
dan bisa diakses siapa saja. Tentu saja semakin tinggi kemampuan daya
beli seseorang, semakin besar konsumsi terhadap bahan bakar, sehingga
tidak pelak subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas dibandingkan dengan masyarakat
berpenghasilan rendah. Berbagai hasil penelitian[4] menunjukkan fakta nyata (hard evidence) bahwa subsidi BBM meningkatkan ketimpangan pendapatan.
Fakta
menunjukkan volume konsumsi BBM bersubsidi dan besarnya subsidi BBM
juga ditentukan oleh aktivitas di pasar gelap dan penyelundupan BBM
bersubsidi. Kensekuensi dari fakta ini adalah, semakin besar subsidi BBM
yang dikucurkan, semakin besar subsidi yang diterima oleh para
penyelundup dan pelaku di pasar gelap.
Fakta-fakta
di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM adalah salah sasaran. Tidaklah
berlebihan jika setiap upaya mempertahankan subsidi BBM dapat dimaknai
sebagai upaya untuk mempertahankan subsidi kepada rumah tangga
berpendapatan menengah ke atas, dan juga mempertahankan subsidi kepada
para penyelundup dan pelaku pasar gelap BBM bersubsidi.
Subsidi BBM: Bom Waktu yang Tumbuh
Fakta bahwa konsumsi BBM bersubsidi bersifat compensated consumption,
maka tidaklah mengherankan jika konsumsi BBM bersubsidi dan nilai
subsidi BBM selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kompleksitas meningkat
tatkala dari enam faktor penyebab kenaikan subsidi BBM, lima
diantaranya tidak dalam kuasa pemerintah untuk mempengaruhi. Artinya,
kedaulatan system penganggaran pemerintah Indonesia, kaitannya dengan
subsidi BBM, mayoritas ditentukan oleh faktor-faktor eksogen, baik dari
sisi asing (perubahan kurs, harga minyak dunia), perilaku konsumsi BBM
bersubsidi oleh masyrakat, dan bahkan oleh perilaku para penyelundup.
Tidak
berlebihan kiranya jika pertumbuhan beban subsidi BBM terhadap keuangan
negara dapat digambarkan sebagai ‘bom waktu yang terus bertumbuh dan
siap meledak kapan saja’. Dalam menghadapi masalah kompleks seperti ini,
tentu saja berdiam diri bukanlah strategi yang optimal, mengingat
dampak subsidi BBM terhadap APBN akan terus tumbuh dan membebani
perekonomian. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi
menciptakan kerentanan ekonomi karena permintaan terhadap Pertamax impor[5] akan meningkat sehingga akan memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah.
Menjaga Momentum
Beban
subsidi BBM terhadap perekonomian sebenarnya bisa diminimasi jika
pemerintah dan terutama partai politik memiliki komitmen kuat untuk
memandirikan perekonomian bangsa ini. Upaya untuk memandirikan
perekonomian negara, seringkali ditundukkan oleh kepentingan politik
yang berorientasi jangka pendek. Di tahun 2005 pemerintah telah
meningkatkan harga Premium hingga 160%, namun di tahun 2008 menjelang
Pemilu 2009, harga Premium dikembalikan lagi ke posisi semula yaitu IDR 4.500 hingga saat ini.
Adalah
faktor kepentingan politik pulalah rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI
ditolak oleh DPR di tahun 2011 dan tidak ada komitmen lebih lanjut dari
partai yang berkuasa untuk memperjuangkannya. Hal serupa berulang lagi
di tahun 2012. Saat inipun, upaya untuk menurunkan subsidi BBM masih
terkendala perbedaan pandangan antar partai politik di Senayan, sehingga
prosesnya berlarut-larut dan beresiko kehilangan momentum yang tepat
untuk menurunkan subsidi tersebut.
Waktu
yang paling tepat untuk menurunkan subsidi BBM adalah pada bulan Maret,
April dan Mei. Didasarkan pada pola inflasi dari tahun ke tahun, di
bulan April tingkat inflasi mencapai titik terendah, dan mulai meningkat
di bulan Mei. Dengan demikian, di kedua bulan itulah dampak inflasi
dari penurunan subsidi BBM paling layak dilakukan.
Saat
ini, upaya penurunan subsidi BBM rencananya akan dilakukan di bulan
Juni, yang sebenarnya bukanlah momen yang ideal untuk menurunkan subsidi
BBM mengingat bulan Ramadhan sudah dekat. Namun demikian, deficit
terhadap APBN dan tenanan neraca pembayaran tidak lagi memberikan ruang
gerak bagi pemerintah untuk menunda kembali penurunan subsidi BBM untuk
ketiga kalinya berturut-turut.
[1]
Dr Rimawan Pradiptyo adalah Deputi Penelitian dan Koordinator Publikasi
& Data Penelitian Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) FEB UGM
[2]
Di pasar Internasional, standard minimum untuk bensin adalah RON 92
atau setara dengan Pertamax. Dengan demikian, untuk menutup kekurangan
produksi dalam negeri, pemerintah perlu mengimpor Pertamax
[3] Di
beberapa mall di Jakarta, mobil-mobil mewah seperti Ferarry, Porsche
dan Jaguar di jual. Kartu kredit tanpa batas memungkinkan pembelian
mobil-mobil mewah tersebut.
[4] Lihat Kementerian Keuangan (2008), World Bank (2010),
[5] Di
pasar dunia perdagangan bensin hanya untuk RON 92 ke atas, sehingga
tidak dimungkinkan melakukan impor Premium karena yang ada adalah
Pertamax dan Pertamax Plus impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar