Senin, 25 November 2013

Indonesia di Bawah Bayang-Bayang “Sindrom” Krisis

Adakah alasan untuk mencurigai kemungkinan babak baru krisis ekonomi di Indonesia? Terdapat tiga isu perekonomian makro yang sangat relevan untuk dicermati terkait dengan perkembangan terkini ekonomi Indonesia, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), pengangguran (unemployment) dan stabilisasi (stabilization).
 
Pertumbuhan Ekonomi Melambat
Tiga triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN-P yang 6,3 persen kemungkinan besar tidak akan tercapai. Bank Indonesia (2013) dan BPS(2013) mencatat bahwa kondisi dua triwulan terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya 5,8%. Implikasinya jelas, menurut Hukum Okun, kemampuan ekonomi menyerap tenaga kerja juga berkurang. Kelihatannya trickle-down effect pertumbuhan ekonomi makro yang 5,8% tersebut kurang mampu menyerap tenaga kerja, “perekonomian mikro tak seindah warna perekonomian makro” karena permasalahan struktural, seperti daya saing tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain.
Keberhasilan indikator pertumbuhan ekonomi makro dijadikan komoditi pencitraan pemerintah, padahal kinerja perekomian mikro seperti penganguran dan kemiskinan masih relatif payah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran per Februari 2013 adalah 7,17 juta orang (5,92%) dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Tingkat kemiskinan bulan Maret 2013 mencapai 11,37%, sehingga kemungkinan besar target kemiskinan tahun 2013 yang sebesat 10,5% sulit untuk dicapai. Apalagi, pesimisme tersebut diperparah dengan tingkat inflasi yang tinggi pada Juli 2013 tercatat 3,29%. Inflasi tersebut merupakan dampak rentetan panjang kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi, puasa dan lebaran.
 Industri dan investasi baik asing dan domestik lebih bias pada padat modal (capital intensive) ketimbang padat karya (labor intensive). Daya saing tenaga kerja, kegamangan peraturan ketenagakerjaan memperparah pesimisme dunia usaha. Interview dengan asosiasi pengusaha menunjukkan banyak pengusaha yang semula bergerak di manufaktur padat tenaga kerja seperti tekstil, elektronik dan lain-lain beralih pada bisnis yang lebih sedikit berinteraksi dengan buruh, yaitu bisnis properti di mana sebagian besar tenaga kerja bisa di-outsourcing-kan. Banyak pengusaha, tidak lagi memproduksi barang tetapi mereka lebih suka untuk menjadi pedagang/importir. Impor lebih menarik dan menguntungkan dari pada berproduksi di domestik. Kondisi ini memperparah defisit perdagangan. Pada bulan Juli 2013 tercatat defisit USD 2,3 miliar. Cilakanya lagi, impor kita saat ini tidak hanya di barang-baang modal, bahan baku dan penolong tetapi juga barang-barang konsumsi. Ini adalah pertanda masalah struktural daya saing bangsa.
Neraca pembayaran Indonesia tahun 2013 dapat dikatakan cukup buruk mengingat pada krisis tahun 2008 defisit neraca pembayaran hanya sebesar USD 2,2 miliar. Namun di semester I tahun 2013 ini defisit neraca pembayaran sebesar USD 9,1 Milyar (USD6,6 miliar pada kuartal I dan USD 2,5 miliar pada kuartal II-2013) mendekati kondisi krisis tahun 1998 yang defisit sebesar USD 9,3 Milyar. Hingga 2013 tersebut neraca pembayaran Indonesia sama-sama mengalami defisit. Pertumbuhan ekonomi yang melambat tersebut selain mempengaruhi penyerapan tenaga kerja juga akan mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam memperoleh pendapatan pajak dan non pajak. Sedangkan belanja akan melonjak di tahun politik 2014, sehingga target defisit anggaran hanya 1,49% dari PDB kelihatannya susah untuk dicapai.

Ketidakstabilan Meningkat
Tingkat inflasi pada Juli 2013 tercatat 3,29%, ini dapat dikatakan tidak buruk meskipun melenceng jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Jika dibandingkan dengan tahun krisis sebelumnya, inflasi Indonesia tahun 2013 hingga Agustus yang sebesar 8,79% jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1998 yang mencapai 54,54% dan tahun 2008 sebesar 11,06%. Kondisi cadangan devisa Indonesia pada tahun 2013 ini menjadi yang terbaik dibandingkan dengan masa krisis sebelumnya. Pada tahun 1998 Indonesia hanya memiliki cadangan devisa sebesar USD14,44 miliar dan pada tahun 2008 sebesar USD 57,108 miliar.
Tahun 2013 ini posisi cadangan devisa Indonesia cukup baik pada angka USD 92,997 Milyar pada Agustus 2013. Namun, cadangan tersebut tidak dibangun dari surplus perdagangan seperti yang terjad di China.  Cadangan devisa tersebut dari sumber yang rapuh hot money yang bisa hengkang dalam jangka pendek, misal surat berharga. Sehingga, jika pasar -Amerika dan Eropa yang saat ini dalam krisis -  lebih menarik maka siap-siap saja Indonesia kehilangan devisa tersebut. Untuk Debt Service Ratio (DSR), tahun 2013 menjadi tahun terburuk dibandingkan dengan tahun-tahun krisis 1998 dan 2008. Angka ini dapat dikatakan terlalu tinggi dari batas normal 20,00. Tahun 1998 dan tahun 2008 DSR Indonesia masih dalam batas wajar yaitu sebesar 12,84 dan 15,3. Di tahun 2013 ini angka tersebut melebihi batas mencapai 41,4. Kondisi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika pun mengalami kemerosotan tajam pada periode berjalan 2013. Pada tahun 1998 mata uang Rupiah anjlok hingga Rp17.000,00/USD. Hal ini bisa dipahami, karena kurs masih mencari tingkat equlibrium pasar setelah sekian lama terkungkung dalam rejim sistim kurs mengambang terkendali. Fluktuasi kurs 2008 dan 2013 menunjukkan mekanisme pasar, sehingga anjloknya rupiah di 2008 dan 2013 yang masing-masing Rp11.711,00/USD dan Rp11.200,00/USD memang benar-benar kekuatan riil pasar.  

Penutup
Tidak ada alasan untuk tidak mengatakan, Indonesia di tingah bayang-bayang “sindrom” krisis. Indikator melemahnya pertumbuhan dan meningkatnya ketidakstabilan menunjukkan hal ini. Jika krisis benar-benar terjadi maka untuk bangkit kembali akan lebih berat karena latar belakang krisis kali ini lebih fundamental dibanding krisis-krisis sebelumnya: akumulasi mis-manajemen yang menyebabkan masalah ketidakunggulan bangsa. Terlebih, kebijakan domestik akan relatif kurang efektif ketika pasar domestik sudah terbuka. Tahun 2015 Masyakat Ekonomi ASEAN yang membuka pasar domestik kita untuk berkompetisi secara bebas. Siapkah Indonesia? Tanpa penanganan yang cepat dan tepat Indonesia bisa terperosok dalam jurang krisis.
Oleh: Prof. Tri Widodo, Ph.D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About